Minggu, 30 Juni 2013

AKU LEPASKAN BIKINI DAN KUPELUK ISLAM 2


Kehidupan glamour dan dunia entertainment merupakan gaya hidup yang mengantarkan penikmatnya pada kemerosotan moral.
‘Barang siapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya) niscaya disesatkan-Nya. Dan, barang siapa yang dikehendaki Allah (untuk diberi-Nya petunjuk) niscaya Dia menjadikan-Nya berada di atas jalan yang lurus.” (QS Al-An’am: 39).
Ayat serupa juga dapat ditemukan pada surah Alqashash ayat 56, Albaqarah ayat 142 dan 272, serta Ali Imran ayat 73.
Ayat ini rupanya tepat disematkan pada Sara Bokker, seorang model, aktris, sekaligus aktivis dan instruktur fitnes. Allah memberikan hidayah dan petunjuk padanya untuk menerima kedamaian agama Islam.
Kehidupannya sebagai seorang model, aktris, dan pelatih fitnes mulai dirasakannya sebagai sebuah rutinitas yang membosankan dan hanyalah gaya hidup semata.
Seperti umumnya gadis remaja Amerika yang tinggal di kota besar, Bokker menikmati kehidupan yang serbagemerlap. Ia pernah tinggal di Florida dan South Beach, Miami, yang dikenal sebagai tempat yang glamor di Amerika. Kehidupan Bokker ketika itu hanya terfokus pada bagaimana ia menjaga penampilannya agar menarik di mata orang banyak.
Setelah bertahun-tahun, Bokker mulai merasakan bahwa selama ini dirinya sudah menjadi budak mode. Dirinya menjadi tawanan penampilannya sendiri. Rasa ingin memuaskan ambisi dan kebahagian diri sendiri sudah mengungkungnya dalam kehidupan yang serbaglamor.
Dunia entertainment yang telah membesarkan namanya itu tak membuat hidupnya menjadi lebih tenang, damai, dan nyaman. Kerap kali, ia mengalami ketegangan dan kebingungan dalam menjalani hidup. Bokker pun mulai mengalihkan kegiatannya dari pesta ke pesta dan alkohol menuju ke meditasi, mengikuti aktivitas sosial, dan mempelajari berbagai agama.
Perkenalannya dengan agama Islam justru diawali ketika banyak orang menganggap agama yang dibawa oleh Rasulullah SAW ini sebagai agama yang mengajarkan kekerasan, terorisme, pedang, dan lain sebagainya.
Apalagi, saat terjadinya peristiwa pengeboman World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan jaringan Islam. Peristiwa yang menewaskan sekian ribu orang itu begitu membekas di benaknya.
Namun, di balik upaya sekelompok orang mendiskreditkan Islam, Sara Bokker menemukan hidayah Allah. Ia mulai menaruh perhatian besar pada agama Islam. Benarkah agama Islam sebagai tempat teroris?
”Pada titik itu, saya masih mengasosiasikan Islam dengan perempuan-perempuan yang hidup di tenda-tenda, pemukulan terhadap istri, dan dunia teroris. Sebagai seorang feminis dan aktivis, saya menginginkan dunia yang lebih baik bagi seluruh umat manusia,” papar Sara.
Pandangannya tentang Islam belum berubah. Namun, keinginannya untuk mengenal agama ini begitu kuat. Hingga akhirnya ia pun menemukan sebuah Alquran yang dikemas secara apik. Ia pun kemudian berusaha untuk membaca (terjemahannya–Red) dan mempelajari isinya. Ia mempelajari kehidupan, penciptaan, dan hubungan antara Pencipta (Khalik) dan yang diciptakan (makhluk).
”Isi Alquran sangat menyentuh hati dan jiwa saya yang paling dalam, tanpa perlu saya menginterpretasikan atau menanyakannya pada pastor,” tambahnya.
Inilah kebenaran firman Allah yang tertuang dalam surah al-An’am ayat 125. ”Barang siapa yang dikehendaki Allah untuk diberi petunjuk niscaya Dia akan melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan, barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatan niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.”
Sara Bokker pun mulai menemukan jati dirinya kembali. Jiwanya yang dahulu labil, goyah, dan gampang putus asa secara perlahan bangkit kembali. Ia benar-benar menemukan kedamaian ketika memahami kitab suci Alquran yang selama ini dipandang negatif oleh sekelompok orang Barat. Baginya, Alquran telah memberikan petunjuk dan pencerahan dalam mengarungi kehidupan yang lebih baik.
Maka, tanpa ragu dan bimbang, Sara Bokker, seorang sang model, pelatih fitness, dan aktris yang telah menjadi salah satu public figure, akhirnya mendeklarasikan diri menjadi seorang Muslimah. Asyhadu an Lailaha Illallah, Wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah.
Kedamaian berjilbab
Ia pun memeluk Islam. Ia telah menemukan jalan kebenaran. Dan, Sara Bokker mendapatkan kedamaian dalam Islam. Karena itu, ia pun langsung menunjukkan kecintaannya pada Islam dan berusaha menjalankan segala perintah agama Islam dengan baik dan benar. Ia lalu mengganti dan mengubah penampilannya, dari yang sebelumnya seksi dan memakai baju superketat berganti menjadi pakaian yang bersahaja dengan pakaian yang longgar dan jilbab. Ia menutupi seluruh auratnya.
”Saya membeli gaun panjang yang bagus dan kerudung seperti layaknya busana Muslimah dan saya berjalan di jalan dan lingkungan yang sama, di mana beberapa hari sebelumnya saya berjalan hanya dengan celana pendek, bikini, atau pakaian kerja yang elegan,” tutur Bokker.
Setelah mengenakan busana Muslimah, terang Bokker, untuk pertama kalinya ia merasa benar-benar menjadi seorang perempuan. Ia merasakan rantai yang selama ini membelenggunya sudah terlepas dan akhirnya menjadi orang yang bebas.
Tak lama berselang, setahun setelah mengikrarkan diri menjadi Muslimah, Allah menganugerahinya seorang suami yang baik dan bisa mengajak dirinya menjadi Muslimah yang taat beribadah.
Dengan dukungan suaminya, ia pun menggunakan jilbab lengkap dengan cadarnya(burqa). Kendati suaminya telah menyampaikan bahwa jilbab hukumnya wajib, sedangkan cadar tidak wajib, Sara Bokker yakin dengan bercadar, dirinya akan makin nyaman. Karena itu, ia pun mengambil keputusan menjadi Muslimah yang sesungguhnya.
”Alasannya, saya merasa Allah akan lebih senang dan saya merasa lebih damai daripada cuma mengenakan jilbab saja,” kata Bokker.
Perjuangkan Kebebasan Berbusana Muslimah
Tak lama setelah ia mengenakan pakaian Muslimah lengkap dengan cadarnya, media massa setempat banyak memberitakan pernyataan dari para politikus, pejabat Vatikan, serta kelompok aktivis kebebasan dan hak asasi manusia yang mengatakan bahwa cadar (niqab atau burqa) adalah penindasan terhadap perempuan, hambatan bagi integrasi sosial, dan belakangan seorang pejabat Mesir menyebut jilbab sebagai pertanda keterbelakangan.
Sara tak mau ambil peduli. Ia menganggap pernyataan sang pejabat tersebut sangat munafik. ”Pemerintah dan kelompok-kelompok yang katanya memperjuangkan hak asasi manusia berlomba-lomba membela hak perempuan ketika ada pemerintah yang menerapkan kebijakan cara berbusana, tapi para pejuang kebebasan itu bersikap sebaliknya ketika kaum perempuan kehilangan haknya di kantor atau sektor pendidikan hanya karena mereka ingin melakukan haknya mengenakan jilbab atau cadar,” kritiknya.
Sara Bokker yang kini berganti menjadi Muslimah berjanji akan terus aktif di dunia perempuan dan feminis. Ia sebagai seorang feminis Muslim yang berseru kepada para Muslimah untuk tetap menunaikan tanggung jawabnya dan memberikan dukungan penuh kepada suami-suami mereka agar menjadi seorang Muslim yang baik. Selain itu, mereka juga membesarkan dan mendidik anak-anak mereka agar menjadi Muslim yang berkualitas sehingga mereka bisa menjadi penerang dan berguna bagi seluruh umat manusia.
Di samping itu, Sara Bokker juga menyerukan kaum perempuan untuk berbuat kebaikan dan menjauhkan kemungkaran, menyebarkan kebaikan dan menentang kebatilan, memperjuangkan hak berjilbab ataupun bercadar, serta berbagi pengalaman tentang jilbab dan cadar bagi Muslimah lainnya yang belum pernah mengenakannya.
Ia mengungkapkan, banyak mengenal Muslimah yang mengenakan cadar dari kaum perempuan Barat yang lebih dulu menjadi mualaf. Beberapa di antaranya, kata Sara Bokker, bahkan belum menikah. Kendati sebagian keluarga dan lingkungan mereka menentang penggunaan cadar, ” Mereka tetap menganggap bahwa mengenakan cadar adalah pilihan pribadi dan tak seorang pun boleh menyerah atas pilihan pribadinya sendiri,” tegasnya.
Jika sebelumnya bikini dan kehidupan glamor ala Barat menjadi simbol kebebasan dirinya dalam memperjuangkan hak-hak kaum perempuan, kini simbol-simbol kebebasan tersebut tidak lagi membuatnya merasa bahagia dalam menjalani kehidupan di tengah masyarakat.
Mulai saat ini, kedua simbol kebebasan tersebut telah digantikan dengan busana Muslimah lengkap beserta cadar, yang menurutnya, adalah sebuah simbol baru bagi kebebasan perempuan dalam mencari jati dirinya dan yang berhubungan dengan sang Pencipta.
”Kepada kaum perempuan, janganlah mudah menyerah kepada stereotipe negatif yang ditujukan kepada pakaian Muslimah ini. Karena, Anda (sekalian) tidak akan mengetahuinya ada yang hilang dari diri Anda.” Irg/dia/sya/taq
*****************************************************************
DIBAWAH INI TULISAN  SARA  BOKKER TENTANG ISLAM
*****************************************************************

Sara Bokker, Former Actress and Model, USA

Description: How, Sara Bokker, a former actress, model, fitness instructor and activist gave up the glamorous Miami lifestyle for Islam and found true liberation with Islam and the Islamic dress code for women.
I am an American woman who was born in the midst of America’s “Heartland”.  I grew up, just like any other girl, being fixated with the glamour of life in “the big city”.  Eventually, I moved to Florida and on to South Beach of Miami, a hotspot for those seeking the “glamorous life”.  Naturally, I did what most average Western girls do.  I focused on my appearance and appeal, basing my self-worth on how much attention I got from others.  I worked out rigorously and became a personal trainer, acquired an upscale waterfront residence, became a regular “exhibiting” beach-goer and was able to attain a “living-in-style” kind of life.
Years went by, only to realize that my scale of self-fulfillment and happiness slid down the more I progressed in my “feminine appeal”.  I was a slave to fashion.  I was a hostage to my looks.
As the gap continued to progressively widen between my self-fulfillment and lifestyle, I sought refuge in escapes from alcohol and parties to meditation, activism, and alternative religions, only to have the little gap widen to what seemed like a valley.  I eventually realized it all was merely a pain killer rather than an effective remedy.
As a feminist libertarian, and an activist who was pursuing a better world for all, my path crossed with that of another activist who was already at the lead of indiscriminately furthering causes of reform and justice for all.  I joined in the ongoing campaigns of my new mentor which included, at the time, election reform and civil rights, among others.  Now my new activism was fundamentally different.  Instead of “selectively” advocating justice only to some, I learned that ideals such as justice, freedom, and respect are meant to be and are essentially universal, and that own good and common good are not in conflict.  For the first time, I knew what “all people are created equal” really meant.  But most importantly, I learned that it only takes faith to see the world as one and to see the unity in creation.
One day I came across a book that is negatively stereotyped in the West–The Holy Quran.  Up until that point, all I had associated with Islam was women covered in “tents”, wife beaters, harems, and a world of terrorism.  I was first attracted by the style and approach of the Quran, and then intrigued by its outlook on existence, life, creation, and the relationship between Creator and creation.  I found the Quran to be a very insightful address to heart and soul without the need for an interpreter or pastor.
Eventually I hit a moment of truth: my new-found self-fulfilling activism was nothing more than merely embracing a faith called Islam where I could live in peace as a “functional” Muslim.
I bought a beautiful long gown and head cover resembling the Muslim woman’s dress code and I walked down the same streets and neighborhoods where only days earlier I had walked in my shorts, bikini, or “elegant” western business attire.  Although the people, the faces, and the shops were all the same, one thing was remarkably distinct: the peace at being a woman I experienced for the very first time.  I felt as if the chains had been broken and I was finally free.  I was delighted with the new looks of wonder on people’s faces in place of the looks of a hunter watching his prey I had once sought.  Suddenly a weight had been lifted off my shoulders.  I no longer spent all my time consumed with shopping, makeup, getting my hair done, and working out.  Finally, I was free.
Of all places, I found my Islam at the heart of what some call “the most scandalous place on earth”, which makes it all the more dear and special.
Soon enough, news started breaking about politicians, Vatican clergymen, libertarians, and so-called human rights and freedom activists condemning the Hijab (headscarf) as being oppressive to women, an obstacle to social integration, and more recently, as an Egyptian official called it -“a sign of backwardness.”
I find it to be a blatant hypocrisy when some people and so-called human rights groups rush to defend women’s rights when some governments impose a certain dress code on women, yet such “freedom fighters” look the other way when women are being deprived of their rights, work, and education just because they choose to exercise their right to wear the Hijab.
Today I am still a feminist, but a Muslim feminist, who calls on Muslim women to assume their responsibilities in providing all the support they can for their husbands to be good Muslims.  To raise their children as upright Muslims so they may be beacons of light for all humanity once again.  To enjoin good -any good – and to forbid evil -any evil.  To speak righteousness and to speak up against all ills.  To fight for our right to wear Hijab and to please our Creator whichever way we chose.  But just as importantly to carry our experience with Hijab to fellow women who may never have had the chance to understand what wearing Hijab means to us and why do we, so dearly, embrace it.
Willingly or unwillingly, women are bombarded with styles of “dressing-in-little-to-nothing” virtually in every means of communication everywhere in the world.  As an ex Non-Muslim, I insist on women’s right to equally know about Hijab, its virtues, and the peace and happiness it brings to a woman’s life as it did to mine.  Yesterday, the bikini was the symbol of my liberty, when in actuality it only liberated me from my spirituality and true value as a respectable human being.
I couldn’t be happier to shed my bikini in South Beach and the “glamorous” Western lifestyle to live in peace with my Creator and enjoy living among fellow humans as a worthy person.
Today, Hijab is the new symbol of woman’s liberation to find who she is, what her purpose is, and the type of relation she chooses to have with her Creator.
To women who surrender to the ugly stereotype against the Islamic modesty of Hijab, I say: You don’t know what you are missing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar