Bila kita membaca biografi para ulama, kita akan dapati bahwa
permulaan mereka dalam menimba ilmu tidaklah mudah. Mereka justru
mendapat tantangan dari orang-orang terdekat mereka.
Asy Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, meski ayah beliau seorang
ahli fiqh madzhab Hanafi, tapi sang ayah tidaklah serta merta mendukung
beliau mempelajari ilmu hadits. Ayah beliau sering mengulang-ulang
ucapannya, “Jangan belajar hadits, barangsiapa yang belajar hadits maka
dia akan bangkrut…” melarang anaknya untuk belajar hadits.
Tapi Al Albani muda tetap teguh dengan pendiriannya. Sedikit demi
sedikit dia tekuni ilmu hadits sampai beliau pun menjadi ulama besar
dalam ilmu hadits. Dan lihatlah hasilnya sekarang, hampir semua
kitab-kitab ahlussunnah mengambil faidah dari hasil penelitian beliau
terhadap hadits. Sehingga kita dapati di kitab-kitab pernyataan, “Hadits
ini dishahihkan oleh Al Albani… Hadits ini didha’ifkan oleh Al
Albani.. Hadits ini dihasankan oleh Al Albani..”
Ini semua bermula dari keteguhan hati beliau untuk menempuh jalan yang mulia, jalan seorang penuntut ilmu.
Selain beliau ada Asy Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i. Siapa yang
tidak kenal beliau? Beliau adalah ulama besar Yaman. Murid beliau
ribuan, berasal dari segenap penjuru dunia: Mulai dari Tunisia,
Aljazair, Libia, Sudan, Mesir, Syam, Negara-negara teluk, Somalia,
Djibouti, Ethiopia.
Kemudian dari negara-negara Barat: Britania, Perancis, Belgia,
Belanda, Jerman, Amerika, Kanada. Bahkan juga banyak murid-murid beliau
yang berasal dari Nusantara (semoga Allah menjaga dan mempersatukan
hati-hati mereka di atas al haq dan menjauhi mereka dari perpecahan).
Di awal perjalanan beliau menuntut ilmu, ibu beliau tidaklah
menyetujui langkah beliau untuk belajar. Sang ibu ingin beliau bekerja
sebagaimana pemuda lain di kampungnya. Al Wadi’i muda tetap teguh
hatinya untuk belajar. Meski tidak setuju dengan jalan yang ditempuh
sang anak, ibu beliau hanya memarahinya sambil berkata, “Allahu yahdik,
Allahu yahdik.. Semoga Allah menunjukimu, semoga Allah menunjukimu…”
Asy Syaikh kemudian pergi ke Saudi Arabia. Di sana beliau bekerja
sebagai seorang satpam di sebuah apartemen. Malam harinya ketika tidak
bekerja, beliau memanfaatkan waktu untuk belajar. Sampai akhirnya ketika
dibuka pendaftaran mahasiswa baru Universitas Islam Madinah, beliau
pun mendaftar dan lulus diterima menjadi mahasiswa dengan beasiswa.
Beliau pun belajar dengan sungguh-sungguh.
Menurut apa yang saya dengar dari murid-murid beliau, waktu diterima
sebagai mahasiswa, usia syaikh sekitar tigapuluh lima tahun. Usia yang
tidak muda bagi seorang mahasiswa baru.
Di Madinah beliau belajar dengan sungguh-sungguh, bahkan beliau
mengisi waktu kosong beliau dengan kuliah instisab (semacam Universitas
Terbuka) sehingga ketika lulus sarjana, beliau pun lulus dengan dua
gelar. Satu gelar di bidang aqidah, satunya lagi di bidang fiqh.
Begitu lulus sarjana, beliau pun mendaftar di program magister hadits
sampai selesai. Disertasi beliau waktu itu mendapatkan pujian dari
para penguji. Bahkan salah seorang dari mereka mengatakan “Ini bukanlah
karya seorang mahasiswa magister, ini karya seorang Doktor!”
Ketika beliau kembali ke Yaman, beliau pun didatangi oleh para
penuntut ilmu dari berbagai dunia untuk belajar, menuntut ilmu dari
beliau. Dan dari didikan beliau –yang merupakan keutamaan dari Allah
subhanallah ta’ala- keluarlah puluhan ulama, dan ribuan dai yang kini
berdakwah di berbagai penjuru dunia.
Ini semua bermula dari keteguhan hati beliau untuk menempuh jalan yang mulia, jalan seorang penuntut ilmu.
Jadi para pemuda, para penuntut ilmu, jangan pernah patah semangat
dalam menimba ilmu. Janganlah menjadi pemuda yang cengeng, diberi
sedikit tantangan langsung melempem, meninggalkan thalibul ilmi.
Milikilah semangat yang membaja, hati yang kokoh untuk tetap berada di
jalan ini.
Jalan penuntut ilmu dari zaman para sahabat Abdullah bin Abbas, Abu
Hurairah, kemudian di zaman Imam Asy Sya’fi’i, Imam Syu’bah, Imam Al
Bukhari, Imam Ahmad, dll. semuanya tidak lepas dari tantangan. Hendaknya
kita tetap memiliki kemauan yang keras, cita-cita yang tinggi
sebagaimana ucapan seorang penyair:
فكن رجلاً رجله في الثرى وهامة همته في الثريا
Maka jadilah seorang yang kakinya berada di atas tanah
Sedangkan cita-citanya setinggi bintang Tsurayya
Sedangkan cita-citanya setinggi bintang Tsurayya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar