Para mahasiswa tentu tak asing dengan ungkapan ‘agent of change’.
Kalau di antara para mahasiswa ada yang asing atau bahkan belum dengar,
mungkin kampusnya tidak mengadakan ospek atau memang tak ikut ospek.Benarlah bahwa memang pengemban dakwah juga tidak semata
hanya lelaki yang melakoni. Wanita juga sangat berperan penting dalam
dakwah. Bahkan juga berperan aktif, bukan sekadar peran pasif. Satu yang
pasti, para wanita adalah pendidik terbaik dalam diri seseorang. Dalam
satu gerakan dakwah ada liqo. Pastilah murabbi (murabbiyah)-nya seorang
wanita. Peran wanita sangatlah penting untuk selalu menggerakkan roda
dakwah. Entah itu bekerja di balik layar, bekerja di dapur, bekerja di
manapun yang tak bisa dilakukan para lelaki.
Wanita itu agen
perubahan. Kalau tak percaya, bagaimana nasib Bangsa Yahudi jika Musa
tak diadopsi ‘Aisyiah, istri Fir’aun? Siapa yang berandil
‘memperkenalkan’ Sumur Zam-Zam kepada kita jikalau Siti Hajar tak
membawa Isma’il berlari-lari hingga lelah? Siapa yang mengandung ‘Isa
hingga ia harus bersembunyi melahirkannya karena telah dituduh berzina
kalau bukan Maryam? Siapa yang pertama beriman dan masuk Islam setelah
Muhammad diangkat sebagai Utusan Allah kalau bukan istrinya sendiri,
Khadijah binti Khuwailid? Siapa pula yang berandil melahirkan para
pembaca kalau bukan ibunya? Mereka semua adalah wanita, membawa
pencerahan kepada umat dari kegelapan nan suram.
Maka kiranya kita
sepakat, bahwa wanita memanglah agen perubahan. Namun perubahan tak
selalu baik, maka kita juga patut meneladani para agen perubahan ini
merubah dunia menjadi sangat ingin dilupakan. Ingatlah siapa yang
mendidik anak Nuh menjadi kufur kepada ayahnya! Ingatlah siapa keluarga
Luth yang ikut diadzab Allah saat peristiwa hujan batu di bumi Sodom dan
Gomorah!Memang peran lelaki kepada wanita dalam rangka ke jalan
mana ia mendidik tidak bisa dikesampingkan. Namun para pria tetaplah
‘bergantung’ kepada para wanita. Di samping siapa yang melahirkan dan
menyusui, wanita adalah madrasah pertama bagi anak-anak, penasihat
pribadi bagi suaminya, dan orang yang lihai dalam multi-tasking (melakukan beberapa pekerjaan dalam satu waktu).
Maka para pria memang diperintahkan mencari jodoh yang baik, agar memiliki keturunan yang baik pula.
“Nikahilah wanita karena 4 pekara: karena hartanya, kecantikannya, keturunannya, dan karena agamanya” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam
hadis lain lebih spesifik lagi, “maka nikahilah wanita karena
agamanya”. Hingga sekarang, bagi kaum Muslimin memang ini menjadi
standardisasi calon istri idaman. Sudah kaya, cantik, subur, sholihah
pula. Siapa yang tak tergila dengannya. Namun tetaplah agama yang baik
adalah kriteria utama, karena kesempurnaan cinta dan keutuhan rumah
tangga, terletak di sana. Ummu warobatul bayt hanya bisa
dijalankan dengan baik oleh si Muslimah sholihah, bukan sembarang
wanita. Karena itulah dibutuhkan seorang istri yang pandai bahu-membahu
dengan suaminya membina rumah tangga. Karena masa anak-anak kelak,
sangat bergantung bagaimana orang tuanya. Dalam hal ini, seorang ibu
memang sangat berperan penting. Karena memang hadirnya seorang anak ke
dunia, berasal dari rahim sang ibu. Pengemban dakwah yang baik, akan
lahir dari keluarga yang senantiasa takut kepada-Nya.
Ada yang
bilang, di belakang seorang pria sukses, ada wanita hebat pula di
belakangnya. Tak bisa dipungkiri memang, walau tak selalu benar. Jika
ingin anak yang pintar, ibu yang pandai mengajar adalah kuncinya.
Seorang ibu adalah orang terdekat bagi anaknya saat masih kanak-kanak.
Agar tak lepas kendali saat dewasa, maka lindungilah sejak dini. Siapa
lagi yang berperan melindungi anak jika bukan seorang ibu? Mungkinkah
ayahnya membawa si anak ke tempat kerja setiap hari? Maka dari itu dapat
disimpulkan, kesuksesan seseorang, baik pria maupun wanita, pasti ada
wanita berperan di sana. Ibu yang baik berperan dalam kesuksesan
anaknya. Istri yang telaten, berperan besar bagi kesuksesan suaminya.
Maka janganlah sekali-kali meremehkan wanita. Ingatlah siapa yang
melahirkan, menyusui dan membesarkan kita, itulah sebabnya mengapa
wanita yang menjadi “kuncinya”.
Menapaktilasi Sejarah Wanita
Wanita
memang makhluk terindah yang pernah tercipta di dunia. Ianya diberi
kelebihan oleh Allah dari berbagai sudut. Tak bisa dipaksakan, pria dan
wanita memang berbeda. Pria maupun wanita mempunyai kelemahannya
masing-masing, di saat ujian datang menyapa.
Saya jadi teringat
dengan penyampaian Ustadz Felix Siauw di sebuah kajian tentang wanita di
Jogja. Semenjak dahulu wanita kerap dianggap rendah, benalu, aib dan
objek seks. Bagaimana fakta sejarah membuktikan, kebudayaan Yunani yang
dikatakan peradaban paling tua, memandang wanita begitu rendahnya.
Apalagi jika kita temukan gambar-gambar atau patung-patung di dalam
bangunan Eropa kuno, gereja-gereja, maupun sinagog-sinagog yang
mengeksploitasi wanita dengan sangat ‘mengerikan’ dan vulgar.
Wanita
seolah-olah hanya untuk dijadikan simpanan. Dewa Zeus, dewa paling
tinggi dalam mitologi Yunani dikisahkan mempunyai banyak selir atau
selingkuhan (kalau antum penasaran, silakan cari di google).
Bagaimana dengan para hamba jika dewanya saja sudah mengajarkan untuk
selingkuh?
Bahkan selingkuhannya merembah ke manusia juga, setelah
menikah dengan Dewi Hera, Sang Dewa belum puas, maka selingkuhlah dengan
manusia. Jadilah Zeus mempunyai anak ‘manusia setengah dewa’.
Adapula
Dewi Aphrodite (Dewi Kecantikan) yang dinikahkan Zeus kepada saudaranya
sendiri; Dewa Hephaestus (Dewa Pandai Besi), yang notabene berwajah
buruk. Aphrodite tak terima, karena manalah mungkin Dewi Kecantikan
menikah dengan Dewa ‘Buruk Rupa’. Akhirnya Sang Dewi Kecantikan main
serong kepada Dewa Ares. Jadi inilah gambaran wanita di Yunani, kalo ga selingkuh, ya diselingkuhin.
Dalam Kitab Talmud-nya orang Yahudi, tidak beda jauh. Tertera dalam Menahoth 43b-44a:
“Seorang
lelaki Yahudi diwajibkan membaca doa berikut setiap hari; ‘Terimakasih
Tuhan! karena tidak menjadikanku seorang kafir, atau seorang wanita atau
budak belian”
Kesimpulannya, wanita disejajarkan dengan orang
kafir ataupun budak. Seharusnya kata-kata yang terlontar dari mulut
wanita Yahudi, tidak jauh dari kalimat, “trus gue harus ngapain kalo udah disamain dengan budak?”.
Yahudi mengajarkan bahwa wanita hanyalah sebagai pelayan. Nasib wanita
itu tergantung. Jika ada harta waris, harta tersebut tak boleh
diwariskan kepada perempuan, selama masih ada laki-laki di keluarganya.
Bahkan wanita adalah sesuatu yang dapat diwariskan sebagaimana harta.
Bila suaminya meninggal, maka si wanita ini diwariskan kepada wali yang
terdekat. Wanita disalahkan oleh mereka, sebagai sumber segala kejahatan
dan dosa. Mereka menganggap, manusia turun dari surga ke dunia
dikarenakan Hawa yang menggoda Adam untuk terjerumus kepada perbuatan
dosa. Juga apa yang tertuang dalam Talmud Kehuboth 11b:
“Bila lelaki Yahudi yang telah dewasa bersetubuh dengan anak perempuan, maka itu tidak mengapa”
Wanita
dinilai sebagai makhluk yang hina. Sebagai pembawa sial, dan sumber
bencana. Mereka menginginkan wanita hanya sebagai pemuas nafsu birahi,
alih-alih menjadi manusia yang unggul. Inilah kedudukan perempuan dalam
budaya umat-umat sebelum Islam. Sangat hina, hingga lebih hina dari
binatang sekalipun.
Beberapa peradaban tak jauh berbeda. Tradisi
Sati orang Hindu di India, mengharuskan seorang wanita yang telah
menikah, jika suaminya mati dan ia masih hidup, maka ia harus ikut mati
bersama suaminya. Maka kesimpulannya, istri tidak boleh ‘lebih’ dari
suami. Kesetiaan istri kepada suaminya adalah ia rela mengikuti suaminya
yang meninggal dunia. Apapun itu caranya. Bagi bangsa India, dalam
tradisi Manu, perempuan hanya diposisikan sebagai pelayan ayah dan suaminya[1]. Semua harta yang dimiliki perempuan, akan kembali kepada laki-laki. Baik itu suaminya, ayahnya, ataupun anak laki-lakinya.
Lain lagi dalam tradisi Buddha. Wanita dianggap sebagai makhluk kotor yang suka menggoda laki-laki[2].
Laki-laki tidak akan pernah berdosa, sekalipun laki-laki terjerumus dan
tergoda, dosa akan tetap milik si wanita. Semua dewa dalam Buddha harus
laki-laki. Adapun wanita, dianggap sebagai benalu dan makhluk yang tak
dapat diselamatkan. Hampir di semua ajaran selain Islam, wanita dianggap
sebagai ‘sesuatu’ yang tidak dikehendaki kehadirannya. Lalu bagaimana
mereka memperbanyak keturunan? Siapa yang menyusui bayinya agar bayinya
tetap sehat? Siapa pula yang mencuci bajunya ketika perang, menjaga
rumahnya ketika bekerja, merawat dirinya ketika sakit.
Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam
pun datang, membawa kebenaran bernama Islam. Menebar kedamaian,
mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Saat turun perintah
berhijab[3], para wanita mukmin yang mendengar wahyu dari Allah yang disampaikan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam’
langsung mencari dan menyobek kain di sekitarnya untuk dijadikan hijab.
Benarlah, bukan dikungkung, tapi agar mudah dikenali. Bukan dikekang,
tapi agar lebih dihormati. Bukan cantiknya tak terlihat, justru
cantiknya terpelihara ibarat permata yang dijual di etalase. Tak
sembarang orang bisa memegang, tak sembarang orang bisa meminang. Inilah
bentuk penghargaan Islam atas wanita, makhluk terindah yang pernah
diciptakan Allah azza wa jalla.
Seharusnya dengan turunnya
perintah ini, para wanita bersyukur, bisa bebas kemanapun tanpa khawatir
‘perhiasannya’ dinikmati mata keranjang tak bertanggung jawab.
Keindahannya tetap terjaga, kehalusannya tetap utuh, tidak dirusak terik
matahari, tidak tercemar debu dan kotoran. Maka beruntunglah bagi
kalian yang telah berhijab, surga tinggal beberapa jengkal bagi kalian.
Sepatutnya lelaki mencari istri yang taat kepada Tuhannya. Karena dua
orang yang cinta kepada Allah bila bertemu, tidak akan mengembalikan
permasalahan kecuali kepada Allah semata. Tidak akan ribut
berlarut-larut, karena mereka sadar sedang mengejar ridho Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar